Selasa, 18 Desember 2012

Sexy Free and Single [CHAPTER 5]

Park Min Young’s
Rabu Pagi –  Kamar Min, flat trio Youngs

Tok tok tok...  
Tok tok tok...  
TOK TOK TOK...

Aku mengangkat kelopak mataku yang terasa berat, menggumam kesal karena terbangun oleh suara ketukan di pintu. Aku berguling dalam selimutku, membawa kepalaku tenggelam makin dalam ke bantal, tanpa repot-repot menggubris ketukan yang semakin kencang itu. Sebuah gerakan berasal dari sebelahku membuatku menoleh, dan kulihat Donghae dengan rambut berantakan bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menuju pintu. Aku melihat punggung telanjangnya dengan memuja, sebelum aku sadar bahwa ia membuka pintu dengan hanya memakai celana panjang saja.

Aku mendengar suara terkesiap dari luar pintu kamarku sesaat setelah Donghae membukanya. “Hae Oppa! Ternyata ada kau disini!” itu suara Bin, aku yakin. “Dan tidak pakai baju. Hmmmm...”

Kulihat Donghae baru menyadari keadaan dirinya, dan langsung berbalik untuk mengambil dan memakai kaosnya dengan segera. Aku terkikik geli dibalik selimutku.  “Ada apa Bin-ah?”
“Eh, umm... Min unnie masih tidur?”

Donghae melirik padaku. “Baru bangun sepertinya. Masuk saja Bin-ah, aku akan, hmm, kembali ke dorm saja.” Pacarku itu tampak sedikit kikuk karena dipergoki bermalam dikamarku oleh adiknya, meskipun bukan untuk yang pertama kalinya. Ketika ia berjalan mendekati tempat tidurku, ia meringis lucu sebelum mendaratkan ciuman yang hangat dan lama di bibirku. “Selamat pagi, baby. Aku kembali ke dorm ya? Kalau kau mau ke dorm setelah ini, akan kubuatkan sarapan, bagaimana?”

Aku mengangguk dan melambai padanya. “Aku akan kesana setelah mandi. Usahakan jangan meledakkan dapur ya?” aku mengedip. “Sampai nanti, baby fish. Eh, omong-omong, bajumu terbalik, sayangku.” aku tertawa sambil menatap sayang padanya yang segera membenarkan bajunya. Sungguh, ia seperti bocah remaja yang tertangkap basah ibunya sedang berduaan dengan wanita di kamar. Bin yang sudah duduk disebelahku pun ikut terkikik melihatnya.

“Kakakmu itu lucu sekali Bin. Aku benar-benar gemas padanya.” Ujarku ketika Donghae sudah keluar dari kamar.
“Aku juga lucu kan Unnie?” Bin memasang tampang aegyo dan jarinya menusuk-nusuk lenganku.
Aku memutar bola mata dan memutuskan untuk mengabaikan pertanyaannya. “Kenapa kau kesini Bin?”
“Aku hanya ingin mengganggumu Unnie, tapi aku tidak menyangka ternyata ada Hae Oppa juga disini.” Ia terkikik lagi tanpa sedikit pun menunjukkan penyesalan. “Pacarmu hobi sekali berkeliaran tanpa baju ya Unnie. Aku dibuat shock tadi.”

Aku teringat photoshoot Donghae baru-baru ini untuk majalah Ceci. “Hmm, iya juga sih...”
“Kalian memang pasangan porno deh.” Cetusnya, yang langsung membuatku terbahak.
“Enak saja, kami tidak—” suara dering ponselku memutuskan ucapanku. Papa! Aku memberi tanda tunggu ke arah Bin, dan mengangkat telepon dari Papa.

“Papaaaa!”
“Halo sayang, bagaimana kabarmu?” suara Papa yang dalam dan sedikit serak mengirim getar rindu dalam diriku.
“Baik Pa. Papa bagaimana? Mama sehat?”
“Kami baik dear, tapi kami sangat merindukanmu. Tapi sepertinya kau tidak.”
“Ah Papa, aku juga rindu pada kalian...” jawabku manja. “Papa dimana sekarang?”
“Papa sedang di Jepang, ada pertemuan bilateral antar menteri. Rencananya Papa ingin mengunjungimu di Korea dear, tapi sayang sepertinya tidak bisa untuk saat ini. Ada panggilan rapat kerja dari DPR sepulangnya Papa dari Jepang. Maafkan Papa ya?”

Ingin rasanya merajuk saat itu juga, tapi aku tahu itu percuma. Lagipula aku sudah besar, dan sadar betul bahwa Papaku sibuk. Serindu apapun aku padanya, aku harus bersabar beberapa waktu lagi.
Aku menghela napas. “Apa boleh buat...”

Anyway, Nenek menanyakanmu. Beliau ingin tahu apakah kau akan menghadiri acara ulang tahunnya bulan depan.”
Nenek?!” suaraku naik beberapa oktaf sebagai respon dari informasi barusan. Aku mengerutkan kening mendengarnya. Tidak mungkin kan...? “Kenapa...?” aku bahkan tidak bisa mengeluarkan pertanyaan yang berkecamuk di hatiku dalam bentuk kalimat utuh.

“Iya, Nenekmu, sayang. Aku juga tidak tahu. Mungkin ia ingin bertemu denganmu saat hari ulang tahunnya? Ah, bukan ‘mungkin’. Seingatku dia bahkan sedikit bersikeras kalau kau harus hadir nanti. Ia bilang, kalau aku gagal memastikan kehadiranmu, ia sendiri yang akan meneleponmu secara langsung.”
“Papa tidak sedang bercanda kan? Tidak lucu Pa...”
“Sayang, jangan begitu. Bagaimanapun perasaanmu padanya, ia tetap nenekmu kan?”

Bukan, ia bukan nenek kandungku, jeritku dalam hati. Dan tidak mungkin ia hanya sekedar ingin bertemu denganku, aku tahu ia tidak ingin pernah bertemu denganku lagi. Otakku berputar dengan cepat, seakan segala gambaran mengenai kejadian tidak menyenangkan yang dilakukan nenekku padaku semasa aku tumbuh besar saling melemparkan diri ke tumpukan paling depan, membuka luka lama. Aku mengernyit, seolah merasakan sakitnya secara fisik. “Uhm, yah...”

“Jangan begitu. Kau sekarang sudah dewasa, sudah seharusnya bersikap selayaknya orang dewasa. Kalau kau bisa menghadiri acara ulang tahunnya, kau kan bisa bertemu kami juga. Kami menunggu kau pulang, dear...” bujuk Papa.
Aku menghembuskan napas kencang setelah jeda beberapa saat. “Iya Pa, aku akan pulang dan mencari tahu apa yang diinginkan Nenek dariku. Lagipula aku juga sudah sangat merindukan Papa dan Mama.”

“Anak Papa yang pintar...” suaranya mengisyaratkan bahwa ia puas dengan jawabanku yang penuh tekad. Papa, selayaknya orang yang paling dekat denganku selama ini, tahu dengan jelas mengenai hubunganku dengan Nenek; ibunya. Ia selalu berhasil menempatkan dirinya secara diplomatis di antara kami, namun aku meyakini ia akan lebih senang mendukungku berjuang dari otoritas ibunya yang semena-mena. “Kalau begitu, jaga dirimu sayang. Papa mesti kembali ke ruang rapat. Love you , my dear fairy...
Love you too...” aku menutup telepon dengan perasaan kusut.

“Unnie, ada apa?” Bin menatapku dengan perasaan cemas. Aku yakin ia bisa merasakan suasana hatiku yang berubah muram.
“Aniya...”
“Kau harus pulang ke Indonesia?”
“Uhm, sepertinya begitu. Bulan depan nenekku ulang tahun.”
“Ooh~” Bin tidak mengucapkan apa-apa lagi ketika disadarinya aku memberikan berita tersebut tanpa ekspresi gembira.
“Tidak apa-apa Bin, lupakan saja.” Aku menyenggol pundaknya ketika kulihat ia mulai salah tingkah karena tidak tahu apa yang sebaiknya diucapkan. “Lalu, tadi kau bilang kau ada perlu apa ke kamarku?”
“Ah... aku... lupa, Unnie...” ia meringis.

***

Hwang Bin Young’s
Kamar Bin, Flat Trio Young


Pagi-pagi kamarku sudah ramai dengan suara alarm. Ada tiga alarm dikamarku. Aku menggunakan alarm handphone yang diletakkan disamping bantal, dan dua jam weker yang satu berada di meja kecil samping kasur, yang lainnya ada di meja belajar seberang kasur. Itu strategiku supaya mau tidak mau aku harus bangun dari kasur untuk mematikan semua alarm. Untungnya kamarku sudah dibuat kedap suara, jadi suara alarm dari kamarku tidak akan mengganggu Rin unnie dan Min unnie di pagi hari.

Sekedar informasi, aku ada kuliah pagi hari ini. Itulah sebabnya saat ini aku sudah mandi, berdandan cantik dan memakai pakaian yang matching dari atas sampai bawah. Flat masih terlihat sepi, sepertinya Min unnie dan Rin unnie belum bangun.
Aku mengetuk kamar Min unnie, ingin berpamitan dan menanyakan tentang tugas kuliah. Sebenarnya aku sudah niat untuk meminta tolong Min unnie membantuku dalam mengerjakan tugas semalam, saat di dorm lantai 11. Karena MinHae couple meninggalkan dorm lebih awal, aku jadi lupa. Tidak ada suara, aku mencoba mengetuk pintu kamar Min unnie lebih keras.

BINGO, aku menemukan pemandangan yang bagus saat pintu terbuka. Hae Oppa yang membuka pintunya, dalam keadaan setengah telanjang. Sungguh, aku lebih suka mendeskripsikannya setengah telanjang, dibanding mengatakan bahwa ia tidak memakai baju, hanya mengenakan celana panjang. Seharusnya aku tidak perlu terkejut menemukan Hae Oppa di kamar Min unnie, tetapi tetap saja aku merasa malu karena telah memergoki mereka.

Jangan pernah menyalahkanku karena telah menjuluki mereka pasangan porno. Lihat saja sendiri apa yang mereka lakukan di hadapanku pagi ini. Hae Oppa topless, kemudian mereka berciuman di depanku sebelum Hae Oppa kembali ke dorm. Syukurlah tadi aku mengetuk pintu terlebih dahulu dan tidak menerobos masuk. Mungkin aku akan benar-benar mendapat kejutan luar biasa dari episode MinHae couple pagi ini.

Pada saat aku dan Min unnie sedang asik membahas tingkah Hae Oppa yang panik karena kedatanganku, tiba-tiba handphone Min unnie berbunyi. Papanya Min unnie menelpon. Kelihatannya Min unnie sangat bahagia saat mengangkat telepon dari papanya. Ada kerinduan dari nada bicara Min unnie saat berbincang dengan papanya. Aarrgghh...aku bisa mengerti perasaan Min unnie saat ini.

Namun, seketika wajah Min unnie berubah menunjukkan ekspresi marah. Aku mendengar kalau sepertinya mereka sedang membahas nenek Min unnie. Mungkin sang nenek lah yang memicu emosi Min unnie. Itu baru dugaanku sementara. Setelah Min unnie menutup telepon, lalu bertanya kepadaku tentang kedatanganku ke kamarnya, aku berakting pura-pura lupa. Ini bukan saat yang tepat untuk mengganggunya dengan tugas kuliahku, apalagi suasana hatinya yang sedang memburuk. Sebaiknya aku segera berpamitan dengan Min unnie dan Rin unnie, kemudian langsung pergi ke kampus.

Aku kuliah di Universitas Kyung Hee, fakultas Art and Design, jurusan Theater and Film. Kyung Hee adalah sebuah universitas swasta di Korea Selatan yang dianggap sebagai salah satu Universitas terbaik bertaraf internasional. Kyung Hee memiliki dua kampus yang bernama Seoul Campus, terletak di Kota Seoul dan Global Campus. Satu hal yang aku kagumi dari Universitas Kyung Hee, yaitu perpustakaannya yang bergaya Eropa, benar-benar membuatku terpesona. Aku sangat suka membaca, jadi saat aku survei universitas, perpustakan lah yang menjadi kunjungan pertamaku. Itulah yang membuatku dengan senang hati mendaftarkan diri kuliah di sini.

Kegiatan perkuliahanku sejauh ini menyenangkan. Selama jurusan yang aku pilih sesuai dengan keinginan dan kemampuanku, aku yakin bisa mengerjakan tugas dan ujian dengan baik. Aku memilih jurusan Theater and Film karena aku suka berakting dan berimajinasi. Sejak jaman SD, SMP, dan SMA aku selalu terpilih menjadi pemeran utama untuk acara teater kelas. Hal itu aku anggap sebagai bukti bahwa aku jago akting. Buktinya aku selalu lolos casting dan mendapat pemeran utama.

Dari kecil, aku memiliki dunia khayal. Aku suka berakting seakan-akan aku sedang berada di dunia khayalku. Itu aku lakukan hanya saat sedang di kamar sendirian, sampai sekarang aku masih melakukannya. Menurutku, dengan mempelajari theater dan film, aku tidak hanya bisa berakting, tetapi berharap suatu saat bisa membuat acara theater atau film yang bisa menghibur banyak orang. Aku selalu berkata pada orang-orang terdekatku bahwa aku tercipta untuk menghibur semua orang. Mungkin dengan kuliah yang serius, aku bisa mewujudkan impianku untuk menampilkan karya yang berkualitas dan menghibur.

Di kampus, aku tidak memiliki banyak teman. Aku menjaga jarak untuk tidak mendekatkan diri dengan teman-teman seangkatan atau sejurusan. Kalau hubungan pertemanan semakin dekat, aku mau tidak mau harus memberi tahu mereka tentang keluargaku, tempat tinggalku, dan kisah cintaku. Sebelum hal itu terjadi, sebaiknya aku menghindari pendekatan dengan teman-teman di kampus. Aku berkumpul dengan mereka hanya saat ada tugas kelompok atau ingin belajar bersama.

"Hwang Bin Young, apa yang sedang kau pikirkan? Kita sedang membicarakan tugas, tapi kamu malah melamun sepanjang diskusi." Teguran dari temanku membuyarkan lamunanku.
"Maaf, aku hanya sedikit pusing, akhir-akhir ini kita terlalu banyak tugas. Bisa dilanjutkan lagi diskusinya?" Aku hanya bisa menggunakan senjata andalan kalau keadaannya seperti ini yaitu mengeluarkan jurus ekspresi aegyo. Dengan begini, semua teman-temanku tidak akan marah padaku.

*** 

Park Min Young’s

Aku melempar iphone-ku ke atas kasur dengan kesal. Oke, tidak boleh emosi. Tarik napas, hembuskan. Tarik napas... Aaaaaaaaaargh!!!
Aku mengacak rambutku dengan perasaan frustasi dan melompat-lompat untuk mengekspresikan amarah. Baru sedetik aku gembira karena mendapat telepon dari papaku, detik berikutnya kebahagiaanku dirampas oleh wanita itu. Seolah tidak cukup ia merusak moodku melalui pesannya pada Papa, sekarang ia menambahnya menjadi luapan emosi lewat pesan singkatnya yang dikirim kemudian, sesaat setelah Bin keluar dari kamarku. Pesannya berbunyi:

"Kudengar kau akan datang. Kali ini kau tidak mengecewakan seperti biasanya."

Aku menggertakkan gigi dan menghembuskan napas dengan kencang. Walaupun pesan ini dikirim dari serangkaian nomor yang tidak kukenal, tapi aku tahu bahwa ia pengirimnya. Wanita itu, nenekku, setiap tindakannya selalu saja mengintimidasi. Sungguh, terkadang aku berpikir bahwa hidupku adalah keajaiban karena bisa bertahan selama lebih dari dua puluh tahun di bawah hidung ningratnya yang suka merendahkan itu.

Aku tidak repot-repot membalasnya dan memutuskan lebih baik segera mandi untuk meredam amarahku. Tidak ada gunanya marah-marah sekarang, apalagi karena aku akan segera menemui Donghae lagi. Aku tidak bermaksud menyembunyikan masalah ini darinya, hanya saja aku akan mencari waktu yang tepat untuk membahasnya. Tentu saja Donghae harus tahu bahwa aku akan pulang bulan depan. Ia mungkin terkejut, tapi ia tetap harus diberi tahu.

Selesai mandi dan berpakaian, aku merasa lebih ringan dan cukup bersemangat. Kusingkirkan kecurigaanku terhadap sifat nenekku yang tidak wajar beserta masalah kepulanganku ke sisi otakku yang tidak membutuhkan perhatian segera. Aku menuju dorm sebelah untuk menagih jatah sarapanku yang tadi dijanjikan oleh Donghae. Bin baru saja berangkat kuliah, sementara Rin tidak ada kelas hari ini, maka dari itu aku mengetuk kamarnya dalam perjalanan menuju pintu untuk mengajaknya ikut serta.

“Rin,” aku membuka pintu kamarnya dan mendapatinya sedang duduk di pinggir tempat tidur, tampak sedang melamun dengan radio menyala dan mengisi ruangan ini dengan lagu-lagu ballad kesukaannya. Ia tidak menyadari kedatanganku, entah apa yang sedang dipikirkannya. “Rin,” panggilku lagi agak kencang, yang langsung membuat Rin terlonjak.

“Min! Ada apa?”
“Kau tidak sadar aku mengetuk pintumu tadi?” aku memberengut. “Apa yang sedang kau pikirkan?”
“Tidak ada...” elaknya.
“Bohong. Pasti kau sedang memikirkan si evil Kyu itu ya? Iya kaaaaaan?”
“Kau iseng sekali Amanda...” ujarnya sambil menyebut nama asliku. Kemudian ia melengos untuk mematikan radionya.
“Omo, omo... kau memanggil nama asliku, apakah kau tiba-tiba rindu rumah?”

Rin menoleh padaku. Dari tatapannya yang sedikit terkejut, sepertinya tebakanku cukup tepat. “Tidak, tidak terlalu maksudku. Tapi aku memang sedang memikirkan tentang rumah barusan...  Sudahlah, membicarakannya hanya akan membuat kita berdua kangen rumah. Aku tahu kau juga kangen keluargamu kan? Keluarga yang di Indonesia, maksudku.”

Aku mengedikkan bahu tak acuh, meskipun benar adanya bahwa aku merindukan Papa dan Mamaku. Hanya saja, sejak Papa meneleponku tadi pagi, rasanya ada sesuatu yang mengusikku sehingga membuatku sedikit malas kembali ke Indonesia. Aku memutar ulang percakapanku dengan Papa berulang-ulang saat mandi, saat berpakaian, saat melangkahkan kaki, hingga sesaat yang lalu, sebelum aku mengetuk kamar Rin.

Aku terus bertanya-tanya untuk apa Nenek mencariku, setelah semua yang dilakukannya padaku? Terutama, setelah pesta besar-besaran yang digelar secara mendadak oleh Nenek dengan dalih beramah tamah dengan kelompok sosialitanya, padahal aku tahu bahwa pesta itu adalah bentuk syukurnya setelah mendengar keputusanku untuk menetap di Korea. Dan itu dilakukannya secara terbuka, seolah-olah ia dengan sengaja menginjak perasaan Papa dan Mama yang sedih karena kutinggalkan.

Papa benar-benar kehilangan muka dan hampir kehilangan kontrol emosinya ketika itu, dan itu tidak bisa kumaafkan. Sungguh, aku tidak bisa memaafkan nenekku sendiri karena menyakiti Papa. Nenekku, adalah satu-satunya wanita yang merusak masa kanak-kanakku, duri dalam kenangan indahku, garam di luka hatiku yang tidak akan pernah mengering selama ia ada di dunia ini.

“Min?” suara Rin seolah menarikku dari pusaran memori mengenai nenekku di masa lalu. Aku pasti tenggelam dalam lamunanku sendiri cukup lama, karena kulihat Rin memerhatikanku lekat-lekat. “Sekarang kau yang melamun?”

Aku menyeringai padanya, berusaha mendorong jauh-jauh memori tidak menyenangkan itu ke dasar alam sadarku. “Tidak kok. Ah iya, apa kau mau ikut denganku ke dorm sebelah?”
“Sebenarnya, aku mau ke lantai sebelas...”
“Ah sudah, sudah, aku tidak mau dengar. Lebih baik kau ikut denganku saja ke sebelah. Sekali-sekali, biarkan si Kyu kebingungan karena kau tidak muncul ke hadapannya.” Ujarku terkekeh sambil menarik tangan Rin dan menyeretnya dibelakangku menuju dorm. Tentu saja, Rin tidak akan tega membiarkan Kyu terlantar, jadi aku hanya bisa menggelengkan kepala ketika kulihat ia mengirim pesan pada Kyu mengenai keberadaannya. Sungguh tidak asyik.

Aku mendorong pintu dorm setelah memasukkan serangkaian nomor kombinasi, dan hal pertama yang kulihat ketika memasuki ruang tengah adalah
pemandangan ganjil berupa Teukie yang berdiri berhadapan sangat dekat dengan Kangin, tangan yang satu berada di balik punggung yang lainnya, dan jika dilihat dari sudut tertentu, posisi mereka ini seperti sedang......berpelukan.

Aku terpaku ditempat sementara dibelakangku Rin agak tersedak dibuatnya. Kulihat pasangan ganjil itu bergerak-gerak dengan sedikit kaku; maju, mundur, saling tabrak, kemudian ke kiri dan ke kanan. “One two three four... one two three four... one two—aaah, aaaah! Kau menginjakku! Kubilang juga seharusnya kakimu naik ke pinggangku sebelum badanmu bertumpu padaku!” Kudengar Teukie berteriak pada Kangin.

“Yaaah! Bagaimana aku harus mengingat semua gerakan ini! Jangan salahkan aku kalau aku mengacaukannya, kau meminta orang yang salah.” Kangin balas berteriak sebelum matanya melihatku yang mematung di ujung lorong. “Min-ah!” ia segera melepaskan diri dari Teukie dan menghampiriku. “Min, coba kau bantu Teukie Hyung berdansa, aku sudah gila dibuatnya menari tango sejak pagi.”

Menari...? Belum sepenuhnya berhasil mencerna kata itu di otakku, Kangin sudah menarik dan menempatkanku di posisinya semula, di hadapan Teukie. “Apa yang harus...”

“Min-ah, bantu aku menguasai tarian tango ini. Hari ini aku mungkin akan mempraktekkan tarian tango dengan Sora.” Kata Teukie sambil menggenggam sebelah tanganku dan menarik tubuhku menempel pada tubuhnya. Sora adalah partner Teukie dalam acara We Got Married, dan mereka akan syuting satu kali dalam seminggu, yaitu setiap hari ini, hari Rabu.
“Aku tidak bisa tango!” seruku panik.
“Akan kuajari, jangan khawatir. Ikuti saja petunjukku,”

“Kau harus khawatir Min-ah! Teukie Hyung penari tango yang sangat payah!” seru Kangin sambil terkikik bersama Rin dari arah meja makan. Aku yakin mereka berdua asyik duduk dan menonton kami, sementara badanku kaku karena menempel di tubuh padat Teukie, dan pandangan mataku sepenuhnya terhalang oleh wajahnya yang tepat berada di depanku. Aku bisa melihat lehernya dengan jelas. Leher itu terlihat kokoh akibat ditempa latihan berbulan-bulan di gym, dan perlahan warna merah mulai naik merambat hingga telinganya.

Aku merasakan wajahku juga memanas, lalu cepat-cepat berusaha mengatur napasku. Semoga wajahku tidak merona, semoga wajahku tidak merona...

“Tegakkan badanmu Min-ah. Mulai dari dua langkah ke depan ya Min. One.. two.. ani, ani, ani, dua langkah ke depan pelan-pelan saja. One... two...” dengan kikuk Teukie menyeretku dua langkah ke depan, lalu dua langkah lagi ke belakang, dan begitu terus berkali-kali. Seringkali ia menyemburkan tawa karena kami berdua sangat kacau dan tidak bisa ditolong lagi. Aku pastilah sudah kaku seperti patung, karena sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada langkah-langkah tango yang hanya dua langkah ini. Aku tidak mampu berkonsentrasi dengan otot-otot tangannya yang keras melingkupi tubuhku... Tuhan tolong aku...

“Aigoo... tango itu susah sekali. Aku tidak yakin ini akan berhasil.” Ujarnya putus asa ketika aku tidak juga berhasil melangkah dengan sempurna. Aku begitu kikuk, begitu pula dengannya. “Min, aku yakin aku sudah bisa beberapa gerakan dasar tango sewaktu aku ikut kursus menari tango dengan Sora waktu itu. Jadi seharusnya aku tidak separah ini. Sekarang mari kita coba satu gerakan lagi. Naikkan sebelah kakimu ke depan perutku, akan kupegang, lalu lemparkan kakimu yang satunya lagi  padaku. Siap? Satu, dua, tiga!”

“Aaaaa~hh!!” aku mengikuti arahannya, namun tidak menyangka sama sekali bahwa aku akan berakhir dalam gendongannya, dengan sebelah tangannya menopang punggungku dan sebelahnya lagi berada di balik lututku. Teukie, yang merasa berhasil dengan manuvernya, tertawa bangga dan memamerkannya pada Kangin dan Rin dengan cara memutar-mutar tubuhku beberapa putaran. Penonton pun bersorak sambil bertepuk tangan.

“Oppaaaaa! Stop!” jeritku.
“YAAA TEUKIE HYUNG!!” aku mendengar suara Donghae menggelegar penuh emosi, langsung menghentikan gerakan Teukie. Donghae yang keluar dari arah kamar mandi menghampiri kami dan segera merebutku dari gendongan Teukie. Aku berpindah gendongan dalam gerakan yang sigap dan cepat. “Kau tidak boleh menggendong pacarku! Sungguh, tidak boleh!”

“Donghae-ya, kami sedang belajar tango, kau tahu. Di tango memang ada gerakan seperti itu.” Teukie membela diri. Ia menepuk-nepuk pundak Donghae untuk meredakan kecemburuan dongsaeng kesayangannya itu. “Kau tidak perlu cemburu seperti itu. Kami hanya sekedar menari. Omong-omong,” Teukie merendahkan suaranya dan mendekatkan tubuhnya pada Donghae, dengan aku berada di tengah-tengahnya. Seketika saja aku seperti kekurangan oksigen berada di antara keduanya sedekat itu. Kueratkan pelukanku pada leher Donghae supaya aku tidak mati lemas mengenaskan saat itu juga. “sebaiknya kau juga coba belajar menari tango, karena banyak sekali skinship di dalamnya. Banyak sekali.” Teukie mengakhiri bisikannya dengan gaya penuh sekongkol, sehingga membuat baik Donghae dan aku, yang tentu saja bisa mendengar semuanya, merona.

Teukie mundur sambil terkekeh melihat reaksi kami. Lalu ia bergabung dengan Kangin dan Rin di meja makan, masih tetap menertawakan kami. “Lihat mereka berdua seperti udang rebus” cetusnya. Padahal semua orang tahu bahwa Teukie pun punya kebiasaan mudah merona di waktu-waktu yang kadang kurang tepat.

“Yah! Kalian mau sampai kapan gendong-gendongan dengan wajah merah begitu?” Kangin menggeleng sambil tertawa. Membuatku menguburkan wajah makin dalam ke lekukan leher Donghae yang halus dan harum, menghirup banyak-banyak aromanya yang manis dan segar sehabis mandi. Aromanya membuatku kecanduan karena bisa menenangkan syarafku yang tegang sehabis melakukan kontak fisik dengan tubuh berotot Teukie.
Menyadari pelukanku yang semakin erat di lehernya, Donghae tidak menggubris perkataan Hyungnya dan malah membawaku mendekati meja makan.

Kemudian padaku, ia berkata sambil terkekeh, “Kau tidak mau turun? Kalau begitu ambilkan roti isi cokelatnya di meja supaya bisa kita bawa. Aku menyiapkan rotinya sendiri, untukmu.” Katanya dengan bangga, seolah-olah telah ikut membantu mengubah dunia menjadi lebih baik.
Aku mengangkat wajahku yang masih terasa panas, mencari roti cokelat yang dimaksud dan mengambilnya. Kulihat Donghae membuka mulutnya sambil melirik penuh harap pada roti yang kupegang.

“Aku kan tidak bisa menyuap sendiri.” Rujuknya.
“Dasar manja...” gumamku sambil menyuapkan roti cokelat padanya. Ia menggigit ujung rotinya, namun tidak menggigitnya hingga putus melainkan membawanya dengan mulutnya dan menyodorkan roti yang tersisa ke depan wajahku. Mengerti dengan apa yang Donghae coba lakukan, sontak semua penonton di ruang makan menyuarakan protes mereka.
“Eyyy~~  kalian membuatku merinding!!”

Sepertinya aku bisa mati konyol karena malu.

***

“Ne, Umma. Aku tidak akan lupa minum suplemenku. Ne, nanti kuingatkan Kyu juga untuk selalu minum suplemennya. Jaga kesehatan ya Umma... Ne... aku sayang padamu juga...” aku menutup telepon dari Umma-ku. Umma-ku memang rutin menelepon Kyu atau aku untuk mengecek keadaan kami, atau sekedar untuk membangunkan kami jika aku ada kelas atau jika Kyu ada scedule. Tidak jarang, sesi teleponku dengan Umma juga menjadi sesi curhatku apabila aku sedang bertengkar dengan Kyu atau juga Donghae. Umma mengetahui hubunganku dengan Donghae sejak awal, dan ia sangat merestui kami.

Ia telah mengenal Donghae dengan baik, Donghae bahkan menjadi salah satu anak kesayangannya diantara para member Super Junior. Seringkali ia menelepon Donghae untuk mengetahui hubungan kami ataupun mengecek keadaan member lainnya. Berkat Donghae pula lah, Umma jadi tahu mengenai hubungan Kyu dengan Rin, yang membuat Umma merasa senang sekali karena ia pikir anak lelakinya yang tidak tertolong lagi itu telah menemukan penakluknya.

Aku menghela napas panjang. Aku baru memberi tahu Umma bahwa aku akan pulang ke Indonesia bulan depan. Aku belum memutuskan untuk berapa lama, karenanya aku memberi tahu Umma bahwa kemungkinan aku akan tinggal selama beberapa minggu. Umma berkata padaku untuk tinggal dengan Papa dan Mamaku selama yang aku mau, dan meskipun ia akan merindukanku, tapi ia tidak mau membatasi pertemuanku dengan keluarga yang telah membesarkanku. Aku hampir menangis mendengarnya. Aku sungguh bersyukur karena kini ada dua keluarga yang menyayangiku, seolah-olah Tuhan membayar kesedihanku atas perlakuan Nenek sejak kecil dengan kasih sayang melimpah dari kedua pasang orang tuaku ini.

Aku beranjak dari balkon yang menghadap ke kolam renang di flat kami, tempat aku biasanya diam dan memandang riak air di kolam. Itu merupakan kebiasaanku. Karena suatu alasan, biasanya air bisa menenangkanku, mengembalikan mood, hingga memberi inspirasi. Mungkin ada hubungannya dengan zodiakku yang Aquarius, mungkin juga tidak. Tapi memandangi kolam renang saja kali ini belum bisa melunturkan awan mendung dari perasaanku. Rasanya, aku perlu meloncat ke dalam air sekalian, merendam kepalaku yang terasa panas di air yang dingin. Nanti, pikirku. Nanti akan kuajak Donghae bersamaku juga. Melihatnya saja akan selalu bisa menyejukkan hatiku, apalagi bila bisa berenang bersamanya.

Sayang, aku harus bersabar menunggu Donghae pulang dari schedule-nya hari ini. Tapi aku tidak tahu jam berapa ia akan pulang. Donghae langsung pergi syuting setelah sarapan tadi pagi, begitu juga Kangin, Heechul, Leeteuk, Kyuhyun, dan Eunhyuk yang pergi melakukan kegiatannya masing-masing. Setahuku, Sungmin masih tidur di kamarnya entah karena tidak ada schedule hari ini atau karena jadwalnya baru ada nanti sore atau malam.

Memikirkan tentang Donghae dan para member membuatku semakin khawatir; bagaimana nanti aku harus memberitahu tentang kepulanganku? Seingatku, aku tidak pernah berpisah cukup lama dengan Donghae. Pernah aku  pulang ke Indonesia hanya satu minggu, dan Donghae langsung menyusulku secara diam-diam. Hal itu cukup membuat panik para manajer Oppa. Aku sedikit khawatir Donghae akan sedih mendengar aku akan pulang dalam waktu yang mungkin sedikit lebih lama dari biasanya. Aku sendiri tidak yakin apa yang akan aku hadapi sepulangnya nanti.

Aku menghela napas panjang, dan memutuskan untuk menyiapkan makan siang, mengingat tidak ada siapa-siapa di flat dan aku harus masak sendiri untuk makan siangku. Mendadak, muncul sebuah ide di benakku. Aku langsung bergegas menuju dorm lantai 12 dan mencari seseorang yang bisa membantuku untuk melaksanakan ide tersebut.

“Ahjumma!” seruku begitu aku menemukan orang yang dimaksud, sedang membersihkan kamar para member. “Ahjumma, bantu aku memasak!”
Wanita paruh baya yang baik hati itu tampak bingung mendengar permintaanku, karena bisa dikatakan memasak bukan merupakan hobi, apalagi keahlianku.
“Ayolah ahjumma, aku ingin membawakan makanan untuk Hae...” rayuku sambil menarik-narik lengannya.
“Kau yang mau memasak? Bukannya kau mau ahjumma yang menyiapkan masakannya?” sahut suara di belakangku.
Aku berbalik, “Wookie! Bagus, kau belum berangkat. Kau juga bisa bantu aku menyiapkan makan siang untuk Hae.” Aku gantian mengayun-ayunkan tangan Ryeowook.

“Kau ini, sedang meminta tolong atau memberi perintah?” Ryeowook seoah-olah tersedak tawanya sendiri.
“Jebal...?” aku memasang tampang paling manisku padanya.
“Memangnya kau mau membawa makanan dalam rangka apa?”
“Hanya sesekali membawakannya makanan, memangnya tidak boleh?”
“Boleh, tapi Donghae Hyung akan sakit perut kalau makan masakanmu lalu tidak bisa melanjutkan syutingnya.”

“Aissssh Wookie!! Aku tidak akan membuatnya sakit perut!” aku memberengut padanya. “Omong-omong, kau tidak ada schedule hari ini?”
“Aku ada latihan untuk performance-ku di Immortal Song nanti sore. Lalu siaran Sukira dengan Sungmin Hyung.”
“Kalu begitu kau masih ada waktu untuk membantuku kan??” aku melemparkan tatapan memohon.
Ryeowook menghela napas pasrah. “Baiklah... kau mau masak apa?”
“Tidak tahu...”                                             

Ryeowook menggeleng putus asa mendengar jawabanku. “Kalau begitu, kita masak Yangnyeom Tongdak, Japchae, dan hmmm... apa kita perlu membuatkan Soondubu Jiggae juga?” katanya sambil memerhatikan bahan makanan di kulkas.
Otakku kosong mendengar berbagai macam masakan Korea yang rumit itu, dan pasti wajahku sudah menggambarkannya dengan jelas pada Ryeowook yang langsung menepuk jidatnya. “Kau ini memang tidak bisa ditolong lagi...”

***

Senyum menghiasi wajahku kala menatap berbagai tumpukan makanan, yang terdiri dari nasi, Yangnyeom Tongdak, Japchae, puding cokelat dan potongan buah-buahan, yang sedang kupangku dan akan kubawa ke lokasi syuting Donghae. Akhirnya kami, atau Ryeowook dan ahjuma dorm, hanya memasak dua jenis makanan karena aku akan sangat terlambat membawakan makanan ini tepat pada waktunya apabila kami harus membuat tiga jenis masakan.

Soondubu Jiggae, masakan terakhir yang tadinya akan kami masak, merupakan rebusan ikan, daging sapi, bubuk cabe, tahu, dan telur, yang menyerupai bubur, dan memasak itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Ryeowook membuat Yangnyeom Tongdak yang merupakan ayam goreng tepung dengan saus manis pedas dan ahjumma membuatkan Japchae (mie dan sayuran ditumis), sementara aku bertugas memotong buah melon, semangka, pear, dan apel. Lalu pada saat-saat terakhir, aku ingat untuk mengambil puding cokelat di flat buatan Rin.

Bukan, aku bukan sengaja mengambil bagian yang paling mudah. Hanya saja, sewaktu aku berusaha membumbui sayur dan mie yang akan ditumis, aku tidak sengaja menumpahkan botol besar yang berisi bubuk cabe sehingga aroma cabe menguar ke seluruh dorm dan membuat kami semua terbatuk-batuk dan mengalami iritasi mata. Tepat pada saat itu, Hyukjae masuk ke dorm, dan...

-Flashback

“YAAAAAK! Apa-apaan ini? Uhuk!”sahutnya sambil terbatuk.
“Hyukjae Oppa, kenapa kau kesini?”
“Memangnya aku tidak boleh kesini? Aku -uhuk- mau mengambil sepatu Teukie Hyung karena kami akan rekaman acara Radio Star nanti. Tapi kenapa, ugghhh, mataku terasa pedas begini?”

“Ah, mian Oppa, aku sedang memasak...” Kurasakan diriku sedikit menciut.
“Memasak? Kenapa kau yang memasak? Yaaah Wookie, ahjumma, kenapa kalian biarkan Min yang memasak? Apa kalian ingin kita mati lebih cepat?”
“Aisssshh Oppa! Aku bukan sedang memasak untukmu!”
“Lalu kenapa kau memasak disini? Untuk siapa?”
“Aku mau membawakan makan siang untuk Hae.”
“Andwei! Kau bisa membuat Hae keracunan! Lihat saja kau bahkan meracuni kami dalam prosesnya!”

Ingin rasanya aku melempar kompor pada ikan teri satu ini. “Yaaaa!! Aku tidak akan meracuni Hae! Tadi itu hanya kecelakaan kecil. Lagipula siapa suruh kau masuk kemari?”
“Lihat, kau membuat Wookie yang malang terkapar di lantai.”

Aku buru-buru menoleh ke arah Ryeowook, yang kulihat sedang banyak-banyak minum air untuk menghilangkan rasa pedih di tenggorokannya akibat aroma bubuk cabe. Aku melemparkan tatapan kesal pada Hyukjae. “Kau mau mati ya Lee Hyukjae? Tunggu saja akan kubuatkan masakan yang paling mematikan untukmu!”

“Hyung, sebaiknya kau pergi saja sebelum Min benar-benar membuatkan masakan untukmu.” Sahut Ryeowook.
“Oh Tuhan. Aku tidak mau. Aku pergi sekarang.” Hyukjae berbalik dan melangkah menuju pintu, namun sebelumnya ia sempat berhenti untuk memberi amanat terakhir pada Ryeowook. “Wookie, jangan suruh Min-ah menyentuh masakan untuk Donghae, atau nanti kita akan disalahkan oleh Lee Soo Man sungjangnim karena membuat artisnya sakit.” Dan dengan perkataan tersebut ia pun lantas menghilang di lorong sebelum aku sempat melemparkan benda-benda tajam padanya.

***

Aku mendengus mengingat kejadian itu, dan seseorang disebelahku di bus yang kutumpangi tampak agak kaget karena dengusanku yang tiba-tiba, tapi tidak kupedulikan. Karena insiden bubuk cabe dan kedatangan Hyukjae, jadilah Ryeowook menyodorkan buah-buahan untuk kupotong. Setidaknya, buah tidak akan menimbulkan cedera bagi siapapun, begitu katanya.

Aku tersadar tepat pada waktunya, ketika bus menepi di dekat lokasi syuting Donghae. Aku tahu hari ini Donghae syuting disini setelah menelepon manajer Oppa. Segera aku melangkah turun dengan sedikit kepayahan karena beberapa kotak makanan yang kubawa, dan langsung disambut dengan kerumunan fans di ujung jalan yang sedang menonton jalannya syuting. Aku berjalan mendekati kerumunan dan menyelipkan diri hingga ke barisan paling depan. Wah, susah juga kalau masuk ke lokasi syuting di tengah-tengah fans begini. Pasti mereka akan curiga. Jadi aku hanya berdiri diam, memikirkan bagaimana langkah selanjutnya untuk memberikan makan siang yang kubawa ini pada Donghae, sambil melihat jalannya proses syuting yang sedang dilakukan di pinggir jalan.

Itu dia, pacarku sedang beradu akting dengan pemeran utama pria lainnya di samping sebuah mobil yang diparkir di pinggir jalan. Donghae tampak tampan, sangat tampan. Dan ia sedang menuntut lawan mainnya dengan sedikit agresif. Namun kemudian entah karena apa, Donghae mendadak menyemburkan tawa dan langsung memeluk lawan mainnya, membuat sang sutradara meneriakkan “NG!” dan proses syuting harus diulangi dari awal lagi. Dasar ikan kecilku...

Setelah dua kali take lagi, sang sutradara baru tampak puas dan mengumumkan untuk bersiap memulaiscene berikutnya. Semua kru langsung membenahi lokasi syuting dan menyiapkan lokasi untuk sceneselanjutnya, masih di tempat yang sama. Kulihat Donghae berjalan menuju van dan melewati para fans-nya yang mulai menjerit-jerit. Aku pun jadi terbawa suasana, jadi sekalian saja aku berbaur bagai fans gila seperti yang lain dan mulai menjeritkan nama Donghae juga.

Donghae melambai ramah pada kami semua, lalu ia melihatku, berada di tengah-tengah kerumunan. Serta merta lambaiannya berubah menjadi antusias, dan tubuhnya seolah hendak berlari menujuku. Oh tidak, tidak. Donghae harus bisa mengendalikan dirinya, pikirku panik. Untung saja saat itu salah seorang staff memanggil nama Donghae dan manajer Oppa juga memegangi bahunya, mungkin untuk mencegahnya kalau-kalau ia langsung menghambur ke arahku.

Ia menoleh ke arah staff yang kembali memanggilnya dengan sedikit mendesak, lalu menoleh ke arahku lagi, tampak bimbang. Aku menunjukkan kotak makan yang kubawa padanya, berdoa semoga ia sempat melihatnya sebelum ia membalikkan badan dan menghampiri staff tersebut. Aku mendesah sedikit kecewa, sepertinya doaku belum terkabul. Sayang sekali, padahal Ryeowook dan ahjumma telah bersusah payah membuat masakan ini.

Seseorang di sebelahku mulai menjerit lagi dan diikuti oleh para fans lainnya. Aku mendongak, berharap Donghae kembali menghampiri kami. Namun yang kulihat hanya manajer Oppa, yang menghampiri kami dan memberi tatapan penuh arti padaku secara sekilas, memintaku memberikan kotak makannya padanya. Aku menurut, menyodorkan kotak makan tersebut ketika ia sampai di depan kerumunan. Ia mengambil kotak makanku, namun ia juga terpaksa mengambil beberapa hadiah dari fans lain agar tidak menimbulkan curiga.

~To Be Continued ~  We're waiting for your comments and suggestions. Gomawo :)

***
[PREVIEW CHAPTER 6]

Park Min Young's
Pikiranku mulai mengembara lagi, memikirkan nasibku sebagai pacar seorang selebriti yang harus disembunyikan oleh publik. Memang terkadang terasa berat, seperti hari ini, ketika hatiku sedang galau dan berharap untuk melihat Donghae tersenyum, tertawa bersamaku, memeluk dan menenangkanku, aku tidak bisa mendapatkannya dan harus bersabar. Juga ketika ia melihatku di depan umum, ia harus berusaha untuk tidak hanya melihatku saja, tapi juga melihat penggemarnya yang lain. Tapi aku sudah bersabar selama setahun ini, jadi aku pasti bisa terus bersabar selama mendampinginya.


Hwang Bin Young's
“Sebaiknya kamu tidak ke dapur saat ini kalau masih ingin hidup. Saat aku tiba di dorm, aku mencium ada bau yang sangat menyengat. Ternyata asalnya dari dapur, baunya seperti bubuk cabe, itu bisa membuat matamu perih. Aku sempat curiga kalau ada yang berusaha membunuh kami dengan aroma bubuk cabe yang sangat menyengat.” Mendengar pernyataan Heechul, aku langsung melotot dan mulai ketakutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar