Rabu, 02 Januari 2013

Sexy Free and Single [CHAPTER 9b]

Park Min Young's
Kamar Donghae

Aku menutup buku yang sedang kubaca dan memperhatikan Donghae yang sedang tertidur dengan gelisah disampingku. Tidak biasanya ia tidur gelisah. Aku memandangnya selama beberapa saat, mengusap rambut di dahinya pelan. Kelopak matanya bergetar sebentar sebelum membuka sedikit, perlahan memfokuskan pandangannya ke arahku.

“Kenapa kau terbangun, baby?”
“Aku tidak bisa tidur...” gumamnya pelan.
“Apa yang menganggumu?”

Lama tidak ada jawaban dari mulutnya. Ia hanya menatap langit-langit kamarnya dalam diam. “Min...”
“Ya?” sahutku.
“Kau benar-benar tidak sedang berpaling dariku kan?”

Jantungku seperti terlepas dari rongganya dan jatuh ke dasar kakiku. Kata-kata polos itu begitu mengiris hati, menyentuh lubuk jiwaku  yang paling dalam. Demi Tuhan, siapa yang akan tega menyakiti pria lugu yang manis di sebelahku ini? Aku lebih baik menyakiti diriku sendiri daripada menyakitinya. Karena bagaimanapun, aku akan merasa lebih sakit apabila Donghae tersakiti.

“Hae, baby, cintaku, pangeranku, ikan kecilku, lihat aku.” Aku menunggu hingga ia menolehkan kepalanya dan memandangku sendu. “Lihat aku dan katakan padaku apa yang sedang aku lihat.”
Alis Donghae berkerut, sebelum ia menjawab dengan bingung, “kau sedang menatapku..?”
“Benar. Dan aku memang hanya bisa menatapmu, melihatmu, memandangmu, merasakanmu, memikirkanmu, merindukanmu, mencintaimu. Aku tidak bisa melihat orang lain selain dirimu, hanya kau yang ada dihatiku. Kau percaya?”

Tatapan mata Donghae bergerak-gerak mencari setitik keraguan di mataku, namun aku tidak gentar. Ia tidak akan bisa menemukan sedikitpun keraguan dalam diriku. Sedetik kemudian, pandangan matanya melembut, dan aku mengembuskan napas lega. “Tentu saja, kau harus percaya. Karena hanya itu kebenarannya.” Aku mencium bibirnya yang sensual, mengundang suara terkesiap dari sela-sela bibirnya.

“Mianhae Min.. aku hanya takut.. aku takut kehilangan dirimu.. aku tidak akan sanggup. Aku bahkan tidak mau membayangkannya.” Donghae menelan ludah dan membasahi bibirnya yang kering. “Kehilangan orang yang sangat kusayangi itu berat, rasanya seperti seluruh duniaku ikut runtuh bersama kepergiannya. Aku pernah mengalaminya sekali dan sungguh tidak ingin mengalaminya lagi. Min, kau telah menjadi seseorang yang sangat berarti untukku. Aku... tidak sanggup kehilanganmu.”

“Dan aku tidak akan kemana-mana selain berada di sisimu. Hae-ku sayang..” aku merebahkan tubuhku di dadanya dan memeluknya. Kurasakan puncak kepalaku diciumnya dan tubuhku dipeluk dengan hangat. “Aku sudah memberikan janjiku padamu sejak awal, apa kau ingat?” aku melambaikan gelang emas putih yang selalu melingkar di pergelangan tangan kananku di depan wajahnya.
Donghae tersenyum sangat manis ketika melihat gelangku, dan mengangkat gelangnya sendiri yang serupa dengan gelangku di pergelangan tangan kanannya. “Tentu saja... aku selalu memegang janjimu bersamaku, setiap saat.”

Aku mendesah bahagia dalam pelukan Donghae, membiarkan posisi kami tetap berpelukan selama beberapa saat yang terasa damai, sementara benakku mulai mengawang ke saat-saat dimana aku pertama kali jatuh cinta pada Donghae. Kejadiannya sudah lebih dari setahun yang lalu, tapi masih bisa kuingat dengan jelas setiap detil ceritanya...


-Flashback, satu tahun yang lalu-

Dua hari setelah aku resmi tinggal dengan Bin dan diperkenalkan dengan seluruh member Super Junior, dalam perjalanan setelah mendaftarkan diri di kampus tempatku kuliah sekarang, tidak sengaja aku membuat pergelangan kakiku terkilir parah dan akibatnya aku harus menahan sakit selama perjalanan pulang ke apartemen. Sayang, pada saat itu Kyu tidak bisa menemaniku karena ada schedule, sementara Appa yang ikut mendaftarkanku di kampus, tidak bisa mengantarkanku pulang karena harus langsung kembali ke akademi miliknya. Aku juga tidak bisa meneleponnya karena aku tahu Appa harus meeting sekembalinya ia ke kantornya.

Hari sudah menjelang malam saat aku akhirnya mencapai gedung apartemen dengan susah payah dan kesakitan, dan baru saja akan membuka pintu flat kami ketika Donghae keluar dari Dorm-nya yang berada tepat di sebelah flat. Ia melihatku terpincang-pincang, dan langsung menghampiriku dengan khawatir.

“Ada apa? Kau kenapa?” katanya sambil memeriksa kakiku.
“Awww! Aku tadi terkilir saat keluar kampus.”
“Aigoo! Ka-kau mau aku antar ke rumah sakit?” Donghae mengamati kakiku yang memerah di sekitar pergelangan kaki.
“Tidak, jangan. Aku benci rumah sakit.”
“Ta-tapi... kakimu...”
“Tidak apa-apa Donghae-ssi. Aku rasa aku bisa me—umm, merendamnya dalam air hangat? Mungkin rasanya akan membaik.”

Donghae menatapku dengan mulut terbuka. “Tidak tahukah kau kalau cedera otot harus dikompres dengan es, bukan air hangat.” Ia lalu menggeleng tidak percaya lalu menuntunku masuk ke flat yang kosong sambil setengah menggendongku. “Dimana Bin?”

Aku meringis menahan sakit saat menurunkan badanku untuk duduk di sofa. “Aku... aku tidak tahu. Rin juga tidak ada, sepertinya mereka pergi bersama.” Untung bagiku, sebelum pindah ke Korea Papa sudah memberiku seorang guru privat bahasa Korea yang mengajariku dengan intens, sehingga kini aku sudah cukup menguasai percakapan sehari-hari dalam bahasa Korea. Papa berinisiatif memberiku pelajaran bahasa Korea ketika akhirnya kami mengetahui asal usulku yang merupakan keturunan Korea beberapa bulan lalu, dan ia berharap aku bisa menguasai bahasa ini sehingga bisa berkomunikasi dengan baik dengan keluarga biologisku.

Begitu aku telah duduk dengan sempurna, Donghae langsung melintasi ruangan ke arah kulkas dan mencari es batu, membungkusnya dengan handuk kecil dan kembali lagi ke sofa tempatku duduk. Lalu dengan sedikit kikuk, ia membawa kakiku yang cedera kepangkuannya. Mungkin untuk menghindari kesalahpahaman karena memegang kakiku terlalu lama, ia terburu-buru melepaskannya sebelum mendarat dengan sempurna di atas pahanya. “Aww, aww..!” jeritku kesakitan.

“Uh, uh! Mianhae.. jongmal mianhae...” Ia tampak lebih salah tingkah dari sebelumnya. Mukanya mulai memerah dan menjadi sangat gugup, berulang kali ia seperti akan menyentuh kakiku tapi lalu membatalkannya.  Aku jadi merasa kasihan padanya dan mengangguk menenangkan, mengizinkannya mengompres pelan bagian yang sakit di kakiku.
“Tahan sebentar. Es akan membuat sakitnya hilang.”

“Tidak... Hilang... Sakitnya... Oh Tuhaaaan..! Sakit sekaliiiii..” Aku mencengkeram lengannya yang kokoh dan mencakarnya karena manahan sakit. Tapi, tidak sedikitpun Donghae meringis karena cakaranku. Aku sungguh lupa bahwa ia adalah salah satu member Super Junior, bintang hallyu yang memuncakki tangga lagu di Asia. Pastilah karena rasa sakit di kakiku yang membuat otakku tidak bisa bekerja dengan lancar. Atau mungkin juga karena Donghae lebih seperti pemuda pemalu yang salah tingkah hanya karena memegang kaki seorang wanita, sama sekali tidak mirip seperti bintang hallyu. Tapi ia terlihat sangat ramah dan tulus.  Ia tetap mengompres pergelangan kakiku selama lima belas menit, kemudian melepaskan kompres dan membiarkan kakiku yang sakit beristirahat sebentar. Saat rasa dingin yang membuat kakiku sedikit mati rasa mulai memudar dan rasa sakit mulai melandaku lagi, ia kembali mengompresku dengan sabar. Ia juga berusaha membuatku melupakan rasa sakit dengan bertanya macam-macam padaku, tentang kehidupanku, keluargaku, sekolahku, teman-temanku, juga tentang kampung halamanku.

Setelah beberapa kali mengompres kakiku dengan es, ia memutuskan untuk membiarkan kakiku beristirahat sejenak. “Jangan digerakkan ya. Kau tunggu saja disitu. Nanti kita akan perlu mengompresnya dengan air hangat.” Katanya sambil berjalan ke dapur. “Apa Bin punya makanan?”
“Entahlah. Kurasa tidak ada.”

Donghae membuka laci dan lemari di dapur, kemudian menemukan ramyun di salah satu lacinya. “Ada ramyun, apa kau mau kubuatkan ramyun?”
“Memangnya kau bisa?” Tanyaku sedikit takjub.
“Ah.. itu.. Tentu saja. Kau tunggu ya.” Dan ia pun mulai membuatkan ramyun untukku.

Aku memerhatikan punggungnya yang sedang membuat ramyun dengan sedikit kikuk. “Lalu, kenapa kau bisa mengetahui cara menangani kaki terkilir dengan sangat baik?” tanyaku sambil lalu.
“Aku pernah beberapa kali cedera saat latihan koreografi. Itu sudah biasa bagi kami.”
“Benarkah? Itu mengerikan. Mengalaminya sekarang saja sudah membuatku kapok. Rasanya sakit sekali.”
“Memang. Tapi, aku tetap harus latihan kan?” Ia tersenyum kikuk ke arahku, manis sekali, dan jantungku seolah berhenti berdetak.
“Ya. Tentu. Saja. Kau... hebat. Dancer, maksudku.” Ujarku meracau. “Eh, maksudku, kau dancer yang baik. Hebat.”

Ia terkekeh mendengarku. Oh Tuhan, aku baru saja meracau di hadapan bintang hallyu! Aku baru sajameracau di hadapan—
“Ini, ramyunnya sudah jadi. Masih panas, hati-hati.” Ia membawakan panci berisi ramyun ke meja di samping sofa. Saat itu, rasanya bagaikan ramyun terenak sedunia. Lagi-lagi, mungkin rasa sakit di kakiku ikut mengacaukan indera pengecapku. Yang jelas, aku tidak bisa ingat dengan jelas bagaimana tepatnya rasa ramyun tersebut. Pada waktu itu aku hanya bisa bersyukur dan hampir menangis karena Donghae membuatkan makan malam untukku, di saat aku sudah benar-benar kehabisan tenaga karena menahan sakit dan tidak bisa melangkah kemana-mana lagi.

Aku menghabiskan ramyunnya dengan nikmat, sementara Donghae mulai mengompres kakiku lagi dengan air hangat. Tapi karena air hangat tidak mempunyai efek untuk membuat mati rasa, maka rasa sakit yang beberapa saat terakhir sudah menghilang kembali menerpaku lagi. Aku meringis kesakitan.
“Sakit ya?” tanyanya khawatir. Aku hanya mengangguk. “Lalu bagaimana kau akan menghadiri acara pernikahan sepupunya Kyuhyun—eh, sepupumu juga berarti—besok malam?”

Aku menatapnya dengan ngeri. Oh Tuhan, aku lupa bahwa besok aku harus hadir di pernikahan sepupu yang baru kukenal beberapa hari ini. Umma bilang, besok malam akan jadi momen yang pas untuk memperkenalkanku ke seluruh keluarga besar. Aku mengerang dalam hati.
“Aku harus datang...” jawabku sambil menaruh panci ramyun di atas meja tanpa semangat.
“Kau masih tetap akan datang? Kenapa?”
“Aku harus bertemu seluruh keluarga besarku.”
“Tapi kau berdiri dengan dua kaki saja tidak bisa.”

Aku mengangkat bahu dengan murung. “Tapi bagaimana kau bisa tahu tentang acara besok?”
“Karena semua member Super Junior juga akan datang. Kyu meminta kami untuk datang.”
“Benarkah?” Aku memutar otakku, berpikir. “Tapi Donghae-ssi, kalau member atau keluargaku, terutama Kyu, mengetahui bahwa kakiku terkilir separah ini, mereka mungkin akan membawaku ke rumah sakit malam ini juga. Bisakah kau tidak memberitahu mereka?
Tapi besok kau pasti akan ketahuan kan?”

“Iya, biar mereka mengatahuinya besok saja, saat tidak ada waktu lagi untuk membawaku ke rumah sakit di tengah-tengah pesta. Tapi tentu saja, aku akan berpura-pura untuk tidak sakit.” Aku tersenyum lemah padanya, dan ia tampak sangat khawatir tapi tidak mengatakan apa-apa lagi. Sisa malam itu dihabiskannya dengan membantuku mengatasi bengkak pada pergelangan kakiku, mengoleskan minyak panas di sekitar memarnya, dan membalutnya dengan perban agar tidak tambah bengkak. Setelah itu ia membantuku ke kamar mandi dan kemudian ke kamarku. Baru setelah Bin dan Rin pulang, ia kembali ke Dorm.

***

Esok sorenya, aku sedang tertatih-tatih memakai dress untuk acara pernikahan itu. Kedua temanku pun akan ikut bersama dengan para member Suju, dan persiapan mereka sudah dimulai dari siang hari dengan kehebohan mencari dress yang tepat. Sedangkan untukku, karena kakiku sedang cedera maka aku harus puas hanya dengan memakai mini dress hitam dengan kerah putih yang cute dan sama sekali tidak ada kesan dewasa ataupun seksi. Malam nanti aku harus memakai boots untuk menutupi perbanku, dan dress tersebut merupakan yang paling cocok kukenakan dengan sepatu boots.
Ketika aku membuka pintu kamarku dengan sedikit terpincang hendak meminta bantuan Bin atau Rin untuk menarikkan resleting dressku di bagian punggung, aku tidak bisa menemukan siapa-siapa. “Bin? Rin?” panggilku. Tidak ada jawaban. Aneh, pikirku. Padahal sejak semalam mereka sangat mengkhawatirkanku sampai-sampai mereka jarang sekali meninggalkanku sendiri.

Aku membuka pintu kamar Bin dan menemukan kamarnya kosong. Kemudian aku mendekati lorong pintu masuk untuk menengok kamar Rin ketika kulihat pintu depan dibuka dan Donghae masuk melewati pintu. Ia menemukanku sedang berpegangan pada dinding terdekat, tersengal-sengal karena letih setelah melintasi ruangan sambil meloncat-loncat dengan satu kaki.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya.

Ya Tuhan, ia terlihat sangaaaaaaat tampan dengan stelan resminya. Jas hitam membalut pundak dan lengannya dengan sangat pas, kancing teratas pada kemeja putihnya dibiarkan terbuka, dasi kupu-kupunya dibiarkan belum terikat dan menggantung lemas di kerahnya. Seksi! Aku semakin kesulitan bernapas, yang membuat Donghae memegang sikuku karena takut aku akan pingsan.

“Aku tidak apa-apa. Aku baru melintasi ruangan dengan satu kaki.”
“Bagaimana kakimu yang terkilir?” ia maju untuk melihat kakiku lebih dekat, dan tepat pada saat itu, sesuatu tertangkap pandangannya dan membuatnya langsung terpaku dengan mata terbelalak. “Bajumu...” bisiknya.

Oh Tuhan! Oh Tuhanku, Tuhanku, Tuhanku... katakan ini tidak benar-benar terjadi...

Dengan ngeri aku meraba punggungku dan mendapati bahwa risleting di punggungku masih terbuka lebar dari mulai tengkuk hingga di atas bokong. Aku memejamkan mata sambil mengatur napas. “A-aku barusan sedang mencari Bin untuk memintanya—”
“Bin sedang ada di Dorm, bersama Heechul Hyung.”

“Oh, yeah... dan saat Bin tidak ada di kamarnya, aku melintas kemari untuk mencari Rin, tapi sepertinya ia...” aku menghentikan kalimatku ketika kudengar sebuah suara samar-samar yang menjadi latar suara percakapanku dengan Donghae sejak tadi, berasal dari depan kamar Rin, dari kamar mandi. “Ah.. Rin sedang mandi rupanya.” Sekarang aku tahu kenapa Rin tidak menjawab ketika kupanggil.

Donghae berdeham kikuk dan mengalihkan pandangannya kemanapun selain ke arahku.
“Emm, karena tidak ada orang lagi yang bisa kumintai tolong, bisakah kau membantuku menarikkan resletingnya?” pintaku malu-malu.
Kulihat ekspresinya shock saat aku memintanya begitu, dan wajahnya dalam sekejap langsung memerah. Tapi ia mengangguk pelan dan tidak berkata apa-apa lagi. Aku pun berbalik dan menunjukkan punggungku yang terbuka padanya. Kurasakan tangannya sedikit bergetar saat menarik risleting dari bagian pinggulku hingga ke tengkuk.

“Gomawoyo...” sahutku pelan sambil berbalik menghadapnya. Aku tidak sanggup memandang langsung ke wajahnya dan hanya bisa mengipasi wajahku yang memanas. Dari sudut mataku, Donghae juga tampak tidak tahu harus berkata apa, dan ia juga menyibukkan matanya dengan memandang ke langit-langit, ruang makan, dapur, kemanapun selain padaku. Benar-benar awkward!

“Ehem... aku, aku akan melanjutkan berdandan kalau begitu...” aku mulai melompat dengan konyolnya untuk melintasi ruangan lagi, sebelum Donghae menangkap pinggangku dan membimbingku berjalan pelan-pelan menuju kamarku. Berjalan bersisian dengannya, dimana sebelah tangannya merengkuh pinggangku dengan protektif dan sedikit mengangkatku dari tanah ketika aku harus berpijak dengan kaki kananku yang terkilir sehingga meminimalisir rasa sakitnya, dan sebelah tanganku berpegangan pada pundaknya sementara tanganku yang satu lagi berpegangan pada tangannya di pinggangku, entah bagaimana terasa begitu...intim. Lebih lama lagi kami seperti ini, pasti jantungku sudah tidak kuat berdetak lagi. Untung saja tanpa terasa kami sampai di kamarku hanya dalam beberapa langkah. Ia melepaskanku di depan pintu, “Aku akan menunggu di ruang tengah.”

Aku mengangguk, merasa kebingungan dengan kalimatnya barusan. Aku ingin bertanya pada Donghae, untuk apa ia menunggu disini? Siapa yang ditunggunya? Dan yang lebih utama lagi, kenapa ia datang kemari? Tapi tidak ada satupun pertanyaan tersebut yang kuutarakan. Entahlah, mungkin karena aku terlalu sibuk menentramkan detak jantungku yang memburu.

Aku melanjutkan menata rambutku, mengoleskan sentuhan akhir pada makeup-ku, dan menyemprotkan parfum di sekitar leher dan pergelangan tangan. Kudengar pintu kamarku terbuka dan aku terlonjak kaget, mengira Donghae terlalu lancang untuk masuk ke kamarku tanpa izin. Namun yang kulihat memasuki pintu adalah Rin, yang sudah rapi dan cantik. Luar biasa, Rin selalu lebih sigap dan lebih praktis dari pada aku dalam urusan berdandan.

“Itu Donghae di ruang tamu? Sedang apa ia disini?” Rin berbisik padaku dengan keheranan.
“Aku juga tidak tahu. Tadi sewaktu aku keluar kamar untuk mencarimu, ia masuk ke dalam flat begitu saja. Aku pun kaget. Ia tidak bilang mau apa ia kesini.”
Rin menaikkan sebelah alisnya, memandangku. “Amanda Natalegawa, apa sesuatu terjadi diantara kalian semalam?”

“Eyy! Semalam aku hampir mematahkan pergelangan kakiku, memangnya aku bisa berbuat apa lagi dengan kondisi seperti itu?” aku memutar mataku.
“Tapi semalam ketika aku dan Bin masuk ke flat, kalian sedang duduk berduaan dengan kakimu berada di atas pangkuannya...”
“Riiiin! Hentikan ah! Kau tahu betul ia sedang mengompres kakiku. Kami sudah memberitahu padamu semalam.” Aku membalikkan badan untuk menyembunyikan wajahku yang memerah. Sahabatku yang satu ini memang suka membuat skenario yang tidak-tidak.
“Baiklah, baiklah... Kau sudah siap kan? Ayo kita keluar agar kau bisa kembali pada Prince Charming-mu.” Rin menyeringai padaku.

Aku membuka pintu dan berjalan dengan pelan-pelan, dengan Rin memegangi sikuku. Kulihat Donghae sedang mengobrol dengan Bin, yang juga sudah siap
untuk berangkat. Ya ampun, semoga saja aku kuat menahan sakit selama menjalani acara pernikahan malam ini. Rencananya, aku akan memakai sepatu boots sehingga perbanku tidak akan terlihat sama sekali. Tapi masalahnya adalah, boots tersebut ada haknya setinggi sembilan sentimeter.
Bin dan Donghae lengsung berdiri ketika melihatku dan Rin. “Kyaaa.. Unnie, kalian cantik sekali.” seru Bin dengan manisnya. “Iya kan Donghae Oppa?”
Donghae mengangguk dan bergumam tidak jelas, sepertinya menyetujui adiknya. “Gomawo Bin-ah. Kau juga cantik sekali.” Aku tersenyum padanya.

“Nah, karena kita semua sudah siap, begitu pula dengan Min yang telah ditunggu-tunggu oleh Donghae, bagaimana kalau kita berangkat sekarang?” Rin mengambil alih situasi dengan luwesnya. Aku melirik tajam padanya, dan tidak dihiraukan olehnya.
“Kyaaa Oppa, apa kau sedang menunggu Min unnie dari tadi? Pantas saja, kupikir sangat mengherankan kalau kau mencariku kesini padahal kau sudah melihatku di Dorm tadi.”

Kasihan Donghae, ia tidak bisa menjawab apa-apa dan hanya terbatuk-batuk dengan muka memerah.

“Kalau begitu ayo kita berangkat, unnie. Ayo Oppa, kau bantu Min unnie berjalan.”
“Ah tidak perlu, aku masih harus memakai sepatu—” aku terkesiap ketika Donghae berjalan dan mengambil sepatu yang sedang kupegang, lalu berlutut pada sebelah kakinya untuk membantuku memakai sepatu. Ia mengangkat salah satu tumitku untuk dimasukkannya ke dalam boots, dan kemudian sebelah lagi. Bin bertepuk tangan penuh kekaguman di samping kami, “Oppa, daebaaak! Seperti dalam cerita Cinderella saja! Kau memang romantis Oppa!” Sungguh, rasanya pada saat itu merupakan saat yang tepat untuk pingsan.

Donghae menegakkan tubuhnya dan sambil menahan tawa, ia mengulurkan sikunya untuk tempatku berpegangan. Aku menerimanya dan berjalan bersamanya keluar dari flat dan menuju Dorm, merasakan tatapan Rin serta Bin menembus kami berdua. Ya Tuhan...
“Waaaaaaaaaaaa... ada apa ini?? Apa aku melewatkan sesuatu?” seru sebuah suara ketika kami masuk ke dalam ruang tengah Dorm Super Junior lantai 12. Aku menoleh, dan mendapati Shindong sedang menatap penuh penilaian pada kami yang berjalan bersama. Kurasakan semua member juga mulai menatap kami, yang dengan efektif langsung membuat wajahku panas.

“Anieya Hyung... ayo kita berangkat saja sekarang.” Jawab Donghae.
“Yaa Lee Donghae, belum ada satu minggu adikku tinggal di sebelah, kau sudah mau mengklaimnya?” Seru Kyu dari suatu tempat yang tidak terlihat olehku, karena para member ini mulai menyeruak maju mendekati kami.
Donghae menyemburkan tawa kikuk dari sela-selar bibirnya. “Anieyaaa...”

“Eyy.. Donghae.. kenapa kau tidak mau berbagi cerita bahagia ini pada kami?”
“Kalian pacaran?”
“Sungguh?”
“Sejak kapan?”
“Kenapa merahasiakannya?”

Dan serentetan pertanyaan lain pun langsung menyerbu kami, tanpa ada satupun yang bisa kami jawab.

“Tidak ada apa-apa Hyung. Ayo kita berangkat saja.” Elak Donghae sambil menahan tawa. Entah kenapa, aku merasa ia bahagia sekali dengan situasi yang ada.
“Kalau begitu, bagaimana kalau Min berjalan bersamaku saja?” Kyu maju ke hadapan kami. Aku secara otomatis mengeratkan peganganku pada Donghae, karena tidak ingin Kyu mengetahui cederaku. Ini masih terlalu dini, dan ia pasti masih bisa membawaku ke rumah sakit sebelum ke tempat pesta.
“Tidak mau?” Kyu menatapku dengan shock. “Kalian benar-benar sudah pacaran ya?”

Aku menggeleng, namun tidak tahu harus menjelaskan apalagi padanya.
“Kalau begitu, bersamaku saja, bagaimana?” Hyukjae menawarkan lengannya di depanku. Aku menciut dan semakin merapat pada Donghae, membuat semua orang di ruangan itu tertawa.
“Yaa Hyung, aku saja yang merupakan kembarannya telah ditolak, apa yang membuatmu berpikir bahwa ia akan memilihmu dan melepaskan Donghae Hyung?” ledek Kyu. Hyukjae tidak menjawab, tampak masih shock karena kutolak.

Akhirnya, setelah beberapa kali lagi menggodaku dan Donghae, kami semua pergi menuju tempat pesta pernikahan sepupuku. Saat menuju mobil tadi, dan juga ketika sampai di tempat pesta, tidak sekali pun Donghae pergi dari sisiku. Ia terus berbisik padaku bagaimana keadaan kakiku, dan apakah kakiku terasa sakit. Dan ia selalu memberikan tangannya sebagai tempatku berpegangan. Terkadang ia malah menggapai pinggangku dan mengangkatku dari lantai secara tidak kentara.

“Sungguh Donghae-ssi, kau tidak perlu menjagaku sepanjang acara. Aku bisa berdiri sendiri.”
Donghae menggelengkan kepala kuat-kuat dan agak terbatuk saat buru-buru menjawab, “Ehm, a-aku melihatmu meringis beberapa kali, itu hanya berarti satu hal, kakimu masih sakit. Lagipula, mana bisa aku membiarkan seorang...seorang gadis yang...terluka, emm... bagaimana pun aku... ah tidak apa-apa.” ujarnya kikuk. Aku memperhatikan, bahwa ia bukan pembicara yang baik. Seringkali ia terlihat frustasi dan urung mengungkapkan apa yang sebenarnya ingin diungkapkan.

Aku tersenyum lemah padanya. “Kau tahu, kau baik sekali Donghae-ssi.”
Donghae menyemburkan tawa gugup. “Anie.. anie.. Umm, ngomong-ngomong, karena kau adik kembar Kyu, maka kau seharusnya berbicara informal saja denganku.”
“Begitu ya? Aku masih tidak terlalu mengerti antara informal dan formal. Lalu, aku harus memanggilmu apa? Oppa?”
“Hmm...”
“Tapi—”
“Kenapa? Apa kau keberatan memanggilku Oppa?”

Aku mengerutkan kening. “Hanya saja, rasanya ganjil memanggilmu Oppa, bukan begitu? Karena, kau tahu, kau tidak terlihat, atau terdengar, seperti Oppa bagiku...”
Donghae tanpa kuduga tertawa mendengarnya. “Sungguh, kau ini benar-benar terdengar seperti Kyuhyun. Tidak diragukan lagi kalau kau kembarannya.”
Aku tersenyum lebar padanya. “Pada akhir acara nanti, semua orang pasti akan salah paham pada kita.”

Iya, mungkin saja.”
“Apa akan timbul skandal bagimu?” tanyaku sedikit khawatir.
“Aku tidak tahu. Tapi—” Donghae berdeham, dan melanjutkan kalimat selanjutnya dengan bergumam dan sambil membuang muka dariku. Samar-samar rasanya aku mendengar ia mengatakan ‘—tapi aku tidak keberatan’.

Umma terlihat sangat senang melihat kedekatanku dengan Donghae—bukan hanya senang, tapiantusias—dan tidak keberatan Donghae terus menempel disisiku selama pesta. Menurutnya, Donghae lebih bisa diandalkan untuk menjagaku daripada anak lelakinya. Alhasil, ia juga turut berkeliling dan menemaniku berkenalan dengan seluruh keluarga besarku. Aku yakin sekali sekarang semua orang di pesta ini sudah salah paham denganku dan Donghae. Hhh... Untungnya, pesta ini merupakan pesta privat dan tidak banyak tamu undangannya. Yang hadir disini pun merupakan kerabat dan orang-orang yang bisa dipercaya tidak akan menyebarkan informasi pada publik. Jadi Donghae merasa bebas untuk menggiringku kemana-mana.

“Yaa pengantin baru!” seru Kyu sambil menepuk bahu Donghae. “Kalian membuat kehebohan dan mencuri perhatian dari pengantin sebenarnya, kau tahu?”
“Kyu, sebaiknya kau jangan mengipasi cerita yang belum terbukti kebenarannya. Apa kau mau menyulutnya hingga menjadi api skandal?” Cetusku.
“Siapa bilang aku menyebarkan cerita palsu? Kalian sendiri yang saling menempel selama satu setengah jam terakhir ini. Umma seolah-olah sudah siap membuat acara pernikahan dalam waktu dekat ini.” Iblis kecil itu tertawa.
“Yaaa Cho Kyuhyun. Kecilkan suaramu! Nanti orang-orang mengira kau berkata yang sebenarnya.”
“Memangnya itu bukan kebenaran?”

Aku secara otomatis maju dan ingin menjiwil lengannya, namun rasa sakit mendadak melandaku dengan begitu hebat ketika berpijak pada kaki kananku dan hampir saja membuatku terjatuh ke samping, jika saja Donghae dan Kyu tidak dengan segera menangkap lenganku.
“Kau kenapa? Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat sekali, Min.”
“Tidak apa-apa Kyu, sungguh. Aku... tersandung tadi.” Aku lalu menatap Donghae dengan permohonan tersirat, “aku rasa aku tidak enak badan.”
“Aku akan mengantarmu pulang.” Jawab Donghae segera. Setelah, itu, aku hanya sempat berpamitan pada Umma dan Appa, dan langsung keluar menuju mobil Donghae, meninggalkan Kyuhyun yang kebingungan.

Diluar dugaan, dalam perjalan pulang Donghae justru mengarahkan mobil ke arah rumah sakit dan memaksaku turun untuk mendapat perawatan dokter. Pada awalnya aku ketakutan, namun rupanya dokter hanya memeriksa kakiku, menscan-nya dan kemudian membungkusnya dengan gips selama beberapa hari. Sepulang dari rumah sakit, barulah seluruh member mengetahui bahwa kakiku terkilir, dan juga alasan Donghae terus disisiku selama acara. Tapi walaupun alasan utamanya telah diketahui, Donghae tetap tidak pernah meninggalkan sisiku sejak saat itu... sampai sekarang. Karena tepat tiga minggu kemudian, pada malam hari di sisi sungai Han, dengan diiringi lagu ciptaannya sendiri khusus untukku yang diputar cukup kencang dari dalam mobil, ia berdiri dihadapanku yang sedang bersandar pada kap mobilnya dan menyatakan cintanya padaku serta memintaku untuk selalu disisinya. Pada saat itu juga ia mengusung sebuah kotak yang berisi sepasang gelang berlapis emas putih, gelang yang aku terima dengan janjiku untuk selalu bersamanya, dan masih terus aku dan Donghae pakai setiap saat, hingga saat ini.

~To be continued~

PREVIEW CHAPTER 10


Hwang Bin Young's
Sungguh di luar dugaan, Heechul tidak ingin berpisah denganku dan berjanji akan menerima diriku apa adanya, meskipun aku memiliki kebiasaan yang amat sangat buruk. Ia juga berjanji untuk membantuku mengatasi masalah jam karet. Salah satu strategi yang Heechul lakukan yaitu ia membantuku menyiapkan pakaian yang akan aku kenakan dan mengawasiku selama berdandan, supaya aku tidak melamun atau menyalakan dvd film kartun. 

Ahn Rin Young's
“Rin-ah.. mianhae..” Rengeknya sambil menangkup satu telapak tanganku dengan kedua telapak tangan miliknya. Aku kembali menoleh ke arahnya. Lihat, sekarang ekspresinya lucu sekali. Aku mau tidak mau langsung tersenyum dibuatnya.
“Kyu, hentikan rengekanmu. Sungguh, mana boleh seorang EvilKyu merengek-rengek seperti itu? Sama sekali tidak cocok..” Jangan kira aku mengatakannya dengan sinis. Justru aku sedang berusaha keras menahan tawa melihat ekspresi lucu di hadapanku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar