Selasa, 01 Januari 2013

Sexy Free and Single [CHAPTER 9a]

Park Min Young’s
Jumat Siang – KyungHee University


Kelas Kang sungsangnim akhirnya ditutup dengan kesimpulan dari diskusi selama kelas berlangsung. Aku menarik napas dan mulai membereskan barang-barangku ke dalam tas, ingin bergegas keluar dari ruangan kelas yang membuat otakku jenuh dua jam belakangan ini.

“Park Min Young-ssi. Park Min Young-ssi.” Aku mendengar seseorang memanggil namaku saat aku melangkah keluar kelas. Aku menoleh ke sumber suara.
“Park min Young-ssi, annyeonghaseyo.” Sapa teman sekelasku, Han Ji Sung.

Aku membungkuk sopan padanya sebelum menegakkan punggung kembali dan menengadah menatap wajahnya. Teman sekelasku yang satu ini memang berbadan cukup tinggi, jadi aku harus mendongakkan kepala sedikit ketika berbicara dengannya. “Annyeonghaseyo... Ada apa Ji Sung-ssi?”

“Umm... apa sehabis ini kau masih ada kelas?” katanya sambil sedikit salah tingkah.
“Tidak ada. Aku akan langsung pulang setelah ini. Kenapa?”
“Oh. Aku ingin menawarkan tumpangan padamu. Apa kau mau kuantarkan pulang? Atau kau mungkin mau minum kopi dulu bersamaku sebelum pulang?”

“Eh?” hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Aku memandang wajah Han Ji Sung yang sebenarnya tampan dengan tatapan heran. Melihat sosoknya mengingatkanku pada Taecyon 2PM, tinggi dan maskulin. Aku tidak pernah tahu kalau ia, katakan saja, manaruh minat padaku. Biasanya kami hanya sekedar teman sekelas biasa, yang hanya mengobrol sekilas dan hanya terbatas di ruang kelas saja.

“Begini,” ujarnya berusaha menjelaskan karena melihat tampangku yang tidak meyakinkan dan juga tidak memberi jawaban padanya. “Aku lihat hari ini temanmu Cho Kyuhyun tidak masuk. Aku hanya ingin memastikan saja kalau kau dan Cho Kyuhyun tidak ada hubungan apa-apa sehingga mungkin kau tidak akan keberatan untuk minum kopi denganku. Sudah lama aku ingin mengajakmu. Tapi setiap kali kau bersama dengan Cho Kyuhyun itu, entahlah, dia seperti protektif padamu dan tidak membiarkan para lelaki manapun mendekatimu. Walaupun aku dengar kalian memang bukan sepasang kekasih, tapi aku rasa sikapnya yang seperti itu agak sedikit aneh bukan?” ia mengakhiri rentetan kalimatnya dengan tertawa hambar.

“Mwo? Aku dan Kyu?? Tidak, bukan. Hmm, kami memang bukan pasangan, sungguh. Tapi... sejujurnya begini, Ji Sung-ssi...”
“Kenapa? Apa kau sudah punya pacar? Tapi tidak ada laki-laki di kampus ini yang kulihat dekat denganmu selain Cho Kyuhyun.”
“Ehm... ya, dan tidak.” Aku membuka mulutku untuk menjelaskan lebih lanjut, tapi kemudian memutuskan bahwa itu terlalu sulit untuk dijelaskan secara sederhana, jadi kututup kembali mulutku.

“Jadi, apa maksudmu kau sudah punya pacar?” Aku mengangguk. “Yah... dimana dia sekarang? Aku tidak pernah melihatnya di area kampus. Tidak pernah kah ia mengunjungimu di kampus?”
Pernah. Tapi kau tidak mungkin tahu kan? “Dia agak... sibuk.”
“Jadi dia sudah bekerja?”

Aku mengangguk lagi. Tolong jangan tanya pekerjaannya apa. Tolong jangan tany—
“Apa pekerjaannya?”
Aku menghela napas. “Ji Sung-ssi, aku rasa aku tidak perlu memberitahumu semua detailnya. Kalau begitu, aku ingin pamit—”
“Tunggu. Tidak masalah kau sudah punya pacar. Jika hanya minum kopi saja tidak akan apa-apa kan? Atau minum teh?”

Aku menggeleng sopan padanya dan melangkah mundur dengan perlahan. Namun tangannya yang panjang menggapai tanganku dan menahannya.
“Sungguh Min Young, kau tidak akan berdosa bila hanya pergi minum teh denganku. Aku sudah lama ingin mengajakmu. Kau harus memberiku kesempatan untuk—”

“Min unnie!” teriak Bin yang berlari bersama dengan Rin menuju ke arahku. Melihat teman-temanku mendekat, Ji Sung melonggarkan pegangannya dan langsung kumanfaatkan untuk menarik lepas tanganku. “Unnie, ayo kita pulang.” Ajak Bin setelah ia berhenti dihadapanku dan membaca situasi yang kuhadapi. Entah ia berhasil membacanya dengan tepat atau hanya menebak, yang jelas aku terselamatkan untuk sementara ini.

“Ji Sung-ssi, aku pulang dulu.” Sahutku masih mencoba ramah.
“Min Young-ssi, apa kau tidak mau kuantarkan pulang?”
Aku menggeleng dan sudah akan beranjak pergi ketika ia berbicara lagi.
“Setidaknya terimalah ini dulu. Ini harusnya kuberi saat aku mengantarmu sampai di depan rumah. Mungkin lain kali kita masih bisa minum teh.” Ia menyerukkan sekotak besar cokelat ke tanganku, dan kemudian pergi.

Rin memandangku penuh tanda tanya. Kujawab, “Dia teman sekelasku, Han Ji Sung, dan baru saja mengajakku minum kopi dengannya. Ketika aku hendak menolaknya, dia mengajakku minum teh, yang sesungguhnya tidak membuat perbedaan apa-apa.”
“Kau tidak bilang kalau—”
“Tentu saja aku bilang bahwa aku sudah punya pacar. Tapi dia agak memaksa, dan kemudian kalian datang.” Aku mengangkat bahu sambil memperlihatkan kotak cokelat pada mereka.

“Waaaah unnie, sepertinya cokelatnya enaaaaaak...” sahut Bin memandang cokelat putih dalam kotak berpita itu dengan pandangan memuja.

***

Dorm lantai 12

Seperti yang sudah kuduga, cokelat putih pemberian Ji Sung sudah hampir habis dimakan Bin malam itu. Bin memang sangat suka pada cokelat putih, dan aku pun sedang tidak ingin memakan cokelat pemberian itu jadi kurelakan saja Bin menghabiskannya. Sebagai gantinya, aku hampir menghabiskan pizza yang kami pesan tadi. Hhh, terkadang terasa sulit tinggal di Korea dan harus terus menerus makan masakan Korea. Jadi aku dan Rin sering memesan bervariasi makanan dari mulai masakan Cina, Melayu, hingga Western supaya lidah kami tidak bosan dengan makanan Korea. Dan kali ini juga begitu. Hanya saja kami memesan pizza dalam jumlah yang besar untuk dikirim ke dorm lantai 12 supaya bisa dimakan bersama-sama.

“Rin, menurutku pizza yang ini enak sekali. Yakin kau tidak mau coba? Nanti kuhabiskan kalau begitu.” Aku bersiap mengambil pizza terakhir di meja makan.
“Hey, kau rakus sekali. Ingat, member Super Junior belum pulang dari rekaman Music Bank, dan kau malah mau menghabiskan makanan mereka?” Rin menggelengkan kepala.

“Aigoo~ lagipula siapa yang suruh mereka terlambat pulang? Aku masih ingin makan pizza ini...” rengekku.
“Min unnie, makan saja pizza bagianku, aku cukup kenyang dengan satu kotak cokelat ini. Hehehe...”
“Jinja??” seruku bahagia, dan Bin hanya mengangguk dengan manis. Sebelah tangannya masih memegang sepotong cokelat.

Aku mengambil pizza dan mencuilnya sedikit demi sedikit. “Oh iya Rin... bulan depan, aku akan pulang ke Indonesia.”
“Eo? Ada apa?” Rin menghentikan kegiatannya menata meja makan.
“Acara ulang tahun Nenek. Dua hari yang lalu Papa meneleponku, dan bilang kalau Nenek ingin aku datang ke acara ulang tahunnya.”

Rin terdiam sejenak sementara aku hanya mencuil-cuil pizza di piringku tanpa benar-benar memakannya. “Bukankah... Tapi kenapa...?” bahkan Rin pun yang telah mengenalku dan keluargaku selama beberapa tahun kesulitan mencerna berita ini.
Aku mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu, sungguh.”

“Haruskah kau pulang?”
“Kemungkinannya akan lebih buruk bila aku tidak pulang daripada aku pulang dan menghadapinya sendiri. Jadi, ya, aku rasa aku sebaiknya pulang.”
“Kau mau... aku temani?”
“Umm, aku bisa sendiri kok. Kecuali kalau kau memang ingin ikut pulang untuk bertemu Ayah dan Bundamu. Ah, tapi bukankah ada rencana SMTown akan dilaksanakan di Indonesia sekitar bulan depan ya? Kalau rencana itu benar, kau bisa pulang bersama-sama dengan member dan yang lainnya.”

“Kau sendiri bagaimana?”
“Kalau waktunya pas, mungkin aku bisa berangkat bersama-sama juga.” Aku menyunggingkan senyum menenangkan pada sahabatku ini.
“Hmmmm.. Aku harus ingat untuk menyediakan banyaaaaaak cokelat saat pesta my Chul hari Minggu nanti.” gumam Bin riang, mengalihkan perhatianku.

Ya, hari Minggu besok akan ada pesta peringatan satu tahun Heechul menjalankan wajib militer. Dan rencananya, pesta ini siap untuk menjadi sebuah acara yang meriah dengan dihadiri banyak tamu undangan dari kalangan artis. Karena pestanya diadakan secara privat dan tidak mengundang media, maka aku dan dua temanku dipastikan akan hadir juga bersama dengan member Super Junior.

“Cokelat? Siapa yang punya cokelat?” tiba-tiba Kyu masuk dengan diikuti Teukie, Kangin, Ryeowook, dan juga Donghae.
“Kyu... akhirnya kau pulang juga. Kami memesan pizza untuk kalian semua.” Ujar Rin menyambut sebagian member yang memang tinggal disini, dan sebagian lagi yang tidak. Mendengar sebuah kata ‘pizza’ semuanya langsung menyerbu ke meja makan, kecuali Donghae yang merapat pada Bin dan kotak cokelatnya.

“Whoa.. daebaaak! Apa ada yang memesan spaghetti untukku?” tanya Teukie.
“Tidak ada Oppa. Karena kau dan spaghetti itu bukan kombinasi yang bagus. Sekali kau pegang spaghetti, pasti kau akan mengajak semua wanita yang melintas di depanmu untuk melakukan pasta kiss.” Aku memberengut padanya, membuat semua orang tertawa dan mengengguk-angguk membenarkan.

Teukie mengelak dan mengatakan sesuatu yang terdengar seperti ‘tidak masuk akal’ atau sesuatu seperti itu, sebelum melanjutkan dengan suara lebih jelas, “Karena kau tidak memesankan pasta untuk kami, kenapa kau tidak coba membuatnya sendiri Min? Bukankah kau sudah belajar masak kemarin, seperti yang kudengar? Bahkan membawakan makan siang untuk Donghae kan? Nah Min, sekarang kau harus membuatkan pasta untukku, aku juga ingin merasakan masakanmu.”

“Mwo???!” itu bukan teriakanku, melainkan Kyu. “Min masak? Hyung, apa kau begitu kelaparan atau sedang terkena virus mematikan sehingga begitu putus asa ingin mati muda karena masakan Min? 
Aku berdecak kesal dan ingin menghajar kembaranku ini. “Yaa Cho Kyuhyun! Kau juga sama payahnya denganku soal urusan dapur!”
“Tapi aku tidak berusaha untuk membunuh orang lain dengan masakanku. Teukie Hyung, kau tidak lihat apa yang disebabkannya pada Donghae Hyung? Lihatlah Donghae Hyung yang malang sekarang tidak bisa berkembang mentalnya.”

Aku mengambil ancang-ancang untuk benar-benar menghajarnya, tapi ia langsung mundur sambil menyeringai.
“Hyung, kau hanya ingin Min memasak untukmu, iya kan?” Donghae tampak teralihkan sejenak, hanya sejenak, dari kegiatannya berebut cokelat dengan Bin.
Teukie terkekeh, “Aniyaaa, aniyaa.. karena Min sudah dewasa, jadi ia harus lebih sering berlatih memasak...”
“Tidak malam ini Oppa. Kau tidak mau kan kita tidur di jalanan nanti malam karena aku membakar dorm ini?” aku melemparkan cengiran padanya. Teukie mengangkat bahu, menyerah.

“Lalu ini cokelat darimana asalnya?” tanya Kyu lagi sambil mengangguk pada Bin dan Donghae yang masih rebutan cokelat.
Aku bertukar pandang dengan Rin, berkomunikasi dalam diam tentang apakah sebaiknya memberitahu yang sebenarnya atau tidak. Tapi, rupanya kami tidak perlu repot-repot memusingkan itu, karena Bin sudah berteriak-teriak pada seisi ruangan.

“Hae Oppa! Ini kan cokelat untukku dari Min unnie! Karena Min unnie tidak mau makan cokelat dari fansnya, jadi dia kasih untukku, Hae Oppa, untukku.”
“MWO???” sontak, seisi ruangan langsung menoleh padaku. Aku menangkap berbagai pandangan yang ditujukan padaku, bingung dari Hae; kaget dari Kyu; marah dari Kangin; tidak percaya dari Teukie. Bin dan Rin pun tidak kalah terkejutnya, dan saling melempar pandang padaku.

“Fans apa?” tanya Donghae naif.
“Eh... itu...”
“Ada yang mengganggumu Min? Siapa dia? Dimana dia mengganggumu?” seru Kangin penuh emosi.
“Appa, sebenarnya tadi di kampus...”
“Apa seseorang di kampus?? Siapa dia?” suara Kyu meninggi melebihi biasanya.

“Haduh, haduh... aku sedang mencoba menjelaskan—”
“Min-ah, katakan pada kami ada apa sebenarnya. Kau, kau... tidak sedang bosan pada Donghae kan? Aku tahu anak ini memang terkadang sangat kekanakkan..” Teukie siap melantur tentang kekurangan Donghae dan harus cepat-cepat kuhentikan.
“Min-ah... benarkah...?” Aku bisa menangkap tatapan terluka Donghae dari seberang ruangan.

“Stop! Kalian semua, dengarkan aku dulu!” jeritku, dan ruangan langsung senyap. “Ada seseorang di kampus hari ini yang menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Lalu aku tolak. Tapi kemudian dia... sedikit memaksa. Dia mengatakan hal-hal aneh tentang aku dan Kyu, dan mengajakku minum kopi dengannya. Tentu saja, aku tolak lagi ajakannya. Pada saat itu, Bin dan Rin muncul. Kemudian ia memberiku sekotak cokelat itu. Begitu saja ceritanya.” Aku menghela napas. “Dan Donghae... ini tidak ada hubungannya denganmu baby, aku tidak sedang berpaling darimu.”

Ruangan tampak di-pause beberapa detik. Kemudian Kyu dengan hati-hati bertanya, “Siapa namanya, Min?”
Aku menatapnya sambil berharap aku punya kekuatan telepati yang konon biasa dimiliki oleh para saudara kembar; Kyu kenapa kau tidak sensitif sekali? Tidak bisakah kau lihat tiga member yang lain sudah mulai tampak berapi-api? Tapi tentu saja tidak terjadi apa-apa. Kyu tidak menerima pesan yang kukirimkan secara telepatis padanya. 

“Itu... tidak penting, sungguh! Ayo kita makan saja pizzanya.” Elakku. “Bagaimana tadi rekaman Music Bank? Apakah kalian menang?”
Para member tampak saling bertukar pandang, sebelum akhirnya Kangin, member yang paling kuat dan paling temperamental—dulunya, sebelum ia masuk militer—di antara semua member, mendekatiku dan berkata dengan sungguh-sungguh. “Min-ah, katakan saja pada kami bila ada yang mengganggumu, akan kami bereskan.”

“Tidak, Appa, sungguh. Aku tidak mau appa atau siapapun juga ‘membereskan’ siapa-siapa hanya karena hal yang tidak penting seperti ini. Tapi aku janji, kalau orang itu melewati batas-batas kewajaran, aku akan memberitahu kalian.” Aku menenangkannya, sangat takut kalau-kalau Kangin akan kembali seperti Kangin yang liar, emosional dan tidak bertanggung jawab seperti dulu sebelum aku mengenalnya. Kini ia sudah jauh lebih bijaksana dan sangat protektif, dan karena itu aku dan teman-temanku sangat menyayanginya. Sementara Teukie sudah dikenal karena perhatian dan rasa sayangnya pada semua member sehingga diibaratkan sebagai ‘ibu’nya dalam keluarga Super Junior, Kangin seolah mengambil peran ‘ayah’nya, maka akupun memanggilnya dengan sebutan appa.

Dari sudut mataku, kulihat Donghae mendekatiku dan langsung memelukku dengan sangat erat tanpa sepatah kata pun. Tapi aku tahu, aku mengerti bahasa tubuhnya; ia merasa tidak aman, sama seperti halnya aku yang selalu merasa tidak aman karena takut kehilangan Donghae pada wanita lain. Aku membalas pelukannya dengan erat.

~To be continued~

PREVIEW CHAPTER 9b

Park Min Young's
“Mianhae Min.. aku hanya takut.. aku takut kehilangan dirimu.. aku tidak akan sanggup. Aku bahkan tidak mau membayangkannya.” Donghae menelan ludah dan membasahi bibirnya yang kering. “Kehilangan orang yang sangat kusayangi itu berat, rasanya seperti seluruh duniaku ikut runtuh bersama kepergiannya. Aku pernah mengalaminya sekali dan sungguh tidak ingin mengalaminya lagi. Min, kau telah menjadi seseorang yang sangat berarti untukku. Aku... tidak sanggup kehilanganmu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar